Agribisnis adalah bisnis berbasis usaha pertanian atau bidang lain yang mendukungnya,
baik di sektor hulu maupun di hilir. Penyebutan "hulu" dan
"hilir" mengacu pada pandangan pokok bahwa agribisnis bekerja pada
rantai sektor pangan (food supply chain). Agribisnis, dengan perkataan
lain, adalah cara pandang ekonomi bagi usaha penyediaan pangan. Sebagai
subjek akademik, agribisnis mempelajari strategi memperoleh keuntungan dengan
mengelola aspek budidaya, penyediaan bahan
baku, pascapanen, proses pengolahan, hingga tahap pemasaran.
Istilah
"agribisnis" diserap dari bahasa
Inggris: agribusiness,
yang merupakan portmanteau dari agriculture (pertanian) dan business (bisnis). Dalam bahasa
Indonesia dikenal pula
varian anglisismenya, agrobisnis.
Objek
agribisnis dapat berupa tumbuhan, hewan, ataupun organisme lainnya. Kegiatan budidaya merupakan
inti (core) agribisnis, meskipun suatu perusahaan agribisnis tidak harus
melakukan sendiri kegiatan ini. Apabila produk budidaya (hasil panen)
dimanfaatkan oleh pengelola sendiri, kegiatan ini disebut pertanian subsisten,
dan merupakan kegiatan agribisnis paling primitif. Pemanfaatan sendiri dapat
berarti juga menjual atau menukar untuk memenuhi keperluan sehari-hari.
Dalam
perkembangan masa kini agribisnis tidak hanya mencakup kepada industri makanan
saja karena pemanfaatan produk pertanian telah berkaitan erat dengan farmasi, teknologi
bahan, dan penyediaan energi.
Indonesia diketahui memiliki keragaman jenis buah-buahan
dan sayuran tergolong tertinggi di dunia, namun ironisnya buah-buahan impor
termasuk yang berasal dari negeri subtropis membanjiri pasar domestik. Di
pasaran lokal buah-buahan yang berasal dari Thailand, Cina, dan Australia,
diantaranya sudah begitu dikenal, sedangkan buah-buahan tropis asal negeri
sendiri tenggelam.
Data Japan Custom menunjukkan pangsa Indonesia
sendiri sekitar 4% per tahunnya dengan impor migas yang jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan non-migas. Pada 2002 tercatat pangsa impor migas Jepang
dari Indonesia mencapai 10,07% sedangkan impor non-migas hanya 2,79%. Namun,
sejak 1998 pangsa pasar komoditas non-migas Indonesia terus meningkat dengan
produk yang dominan diantaranya kayu lapis (plywood), tembaga, kertas dan
produk kertas, karet alam, ikan termasuk udang, nikel, kopi, benang sintetik,
dan furnitur.
Tiga komoditas andalan sektor agribisnis yang
selama ini menjadi penyumbang terbesar ekspor non-migas Indonesia ke Jepang
adalah karet alam, udang, dan kopi. Data dari UNSD Comtrade (2006) menunjukkan
bahwa pangsa pasar produk karet alam Indonesia dalam lima tahun terakhir terus
meningkat dari 9,9% pada 2001 menjadi 18,6% pada 2005. Nilai impornya pun terus
meningkat dari USD174 juta pada 2001 menjadi USD597 juta pada 2005. Total nilai
impor produk karet alam Jepang pada 2005 mencapai USD3,2 miliar.
Untuk mendukung pengembangan potensi produk
Agrobisnis di Indonesia, penelitian terhadap buah Indonesia sebenarnya telah
lama dilakukan oleh peneliti di Departemen Pertanian dan Institut Pertanian
Bogor, namun hal itu dilakukan sendiri-sendiri. Penelitian terpadu, mulai dari
pengembangan bibit hingga teknologi pemasarannya baru dilakukan tahun 1996,
yaitu dalam program Riset Unggulan Strategis Nasional (Rusnas) yang
diselenggarakan Kementerian Riset dan Teknologi.
Melihat masalah yang kompleks dan cakupan
kegiatan riset yang luas, menurut Direktur Rusnas Buah Prof Syafrida
Manuwoto program ini memerlukan kurun waktu yang panjang untuk memperoleh
hasil yang optimal. Negara tetangga Malaysia dan Thailand telah menjalani
program riset buah-buahan masing-masing selama 30 dan 40 tahun. Duren Bangkok
diantaranya merupakan produk riset yang lama dari negeri Gajah Putih ini.
Sementara itu Indonesia dengan empat buah
unggulannya menetapkan jangka waktu riset. Riset manggis memerlukan waktu 15
tahun, sedangkan lamanya riset nenas dan pisang berkisar 7 – 10 tahun. Pepaya
tergolong cepat dalam pengembangannya hanya 7 tahun. Setelah melalui tahap
pemuliaan, direncanakan tahun depan akan dilepas varietas unggul pepaya oleh
Menteri Pertanian.
Manggis selama ini merupakan komoditas yang
buyer market, pihak pembeli yang mencari. Sejak beberapa tahun terakhir ini
manggis memang merupakan primadona ekpor Indonesia, dengan negara tujuan
Thailand, Singapura, Hongkong atau Cina, dan Jepang. Di negara-negara tersebut
manggis menjadi bagian dari sesaji pada upacara keagamaan.
Harga ekspor manggis di pasar dunia bisa
mencapai 8 hingga 10 dollar USA perkilogram. Namun di tingkat petani harganya
hanya Rp 500,- perkilogram. Penjualan manggis selama ini berdasarkan sortasi,
untuk mendapat ukuran yang seragam. Namun dari hasil panen yang ada hanya
sekitar 5 hingga 10 persen yang memenuhi syarat untuk diekpor.
Pangsa Pasar Agrobisnis
Pangsa pasar dari sayur – sayuran dan buah –
buahan adalah negara-negara yang tidak memilik lahan pertanian yang cukup untuk
memenuhi kebutuhan sehari-harinya seperti Singapura, Jepang, dan Hongkong.
Pasar ini cukup menjanjikan bagi para negara pemasok yang berada di sekitarnya.
Hongkong merupakan negara kota yang berpenduduk
padat. Luas lahan pertanian di Hongkong hanya 7 % dari luas total, sehingga 75
% kebutuhan sayuran dan buah harus diimpor. Berdasarkan data Hongkong Export and
Import. Jenis sayuran yang diimpor adalah kentang, tomat, kol, brokoli, selada,
wortel, ketimun, jamur, asparagus dan bayam. Indonesia berpeluang untuk mengisi
pasar sayuran untuk jenis tomat, kubis, dan wortel. Pemasok sayuran ke Hongkong
terbesar adalah Cina karena merupakan negara yang sangat berdekatan dengan
Hongkong dan memiliki tenaga kerja pertanian yang murah. Tetapi dalam hal ini
tidak semua jenis bahan-bahan pertanian yang diperlukan oleh Hongkong dipasok
dari Cina tetapi beberapa negara lainnya seperti Amerika Serikat, Thailand,
Australia dan Jepang juga memasok kebutuhan sayur-sayuran dan buah-buahan
Hongkong.
Untuk pasar agrobisnis di Jepang, pemerintah
telah mengumumkan Kesepakatan Kemitraan Ekonomi Indonesia dan Jepang atau
dikenal dengan Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement (IJEPA) pada 28
November lalu.
Tapi jika ditelisik lebih mendalam, sektor
pertanian Indonesia, dalam arti luas ( termasuk perikanan dan kehutanan ),
berpeluang untuk lebih berkembang dengan adanya kesepakatan ini. Hal ini
dikarenakan Jepang berjanji untuk memperluas akses produk pertanian dan
manufaktur Indonesia melalui penurunan tarif impor atau bea masuk produk
Indonesia secara bertahap dalam kurun waktu 3 hingga 10 tahun. Sekitar 90%
produk pertanian dan manufaktur Indonesia akan diturunkan tarif impornya, ada
yang langsung menjadi 0% dan ada pula yang bertahap hingga 2016, meskipun untuk
produk-produk yang dianggap sensitif, seperti beras dan kayu lapis (plywood),
tidak tercakup dalam kesepakatan ini; dengan kata lain produk-produk ini tarif
impornya tetap.
Menurut data dari Japan Eksports and Imports,
Jepang merupakan negara pengimpor sayuran segar dan sayuran beku. Impor
terbesar sayuran segar adalah untuk labu kuning, kubis, brokoli dan wartel,
sedangkan sayuran beku yang banyak diimpor adalah kentang, green soybeans,
jagung manis dan bayam.
Sayuran di Singapura memiliki harga yang cukup
tinggi mengingat kelangkaan komoditas ini. Harga sayuran di pasar Singapura
saat ini rata-rata dihargai S$ 1 per kilogramnya. Angka ini menarik bagi negara
tetangganya seperti Indonesia dan Malaysia yang memiliki lahan pertanian
sehingga bersaing ongkos angkutnya
Dari data statistik pilihan teratas impor
sayuran Singapura, terlihat bahwa mayoritas produk ekspor Indonesia ke
Singapura adalah kentang dengan pangsa pasar 53.3 %, kubis 34.8 % dan tomat
17.6 %. Indonesia adalah supplier sayuran segar kelima terbesar untuk Singapura
setelah Malaysia, Cina, Australia, dan India.
di Indonesia tongkat, kayu, dan batu jadi tanaman. |
Sumber :